Selasa, 17 Desember 2013

SEBUAH ANALISIS SWOT PADA WIRAUSAHAWAN SAMPAH PLASTIK




SEBUAH ANALISIS SWOT PADA WIRAUSAHAWAN SAMPAH PLASTIK
BAHARUDDIN SANIAN – BANDA ACEH




Oleh



Jacub
(082010014)









MAHASISWA PASCA SARJANA STIEKU
JAKARTA, 2010


PENDAHULUAN

Keberhasilan seorang wirausahawan di bidang sampah plastik yang memulai usahanya dari nol sampai dengan mendapat kepercayaan dari LSM asing dan UNDP. Ia dinilai sebagai “social entrepreneur” karena kemampuannya merubah pola pikir masyarakat sekitar khususnya komunitas pemulung sehingga dengan swadaya sanggup menaikkan tingkat kesejahteraan hidup mereka .
Kasus ini menjadi menarik perhatian penulis sehingga terdorong untuk mengkaji lebih dalam guna mengetahui unsur- unsur yang mendukung kemunculan seorang wirastawan handal tersebut.

Adapun data wirastawan tersebut adalah sebagai berikut:
1.        Lahir: Peuriak, Aceh Timur, 28 November 1956
2.        Istri: Suryati
3.        Pendidikan:
4.        -    STM Negeri Banda Aceh, 1976
- Jurusan Teknik Mesin Universitas Pengembangan Masyarakat Indonesia Medan, 1994
5.        Pekerjaan: Senior Mechanical Engineering PT Exxon Mobile Lhokseumawe
6.        Pencapaian:
7.        -    Nominator Ashoka Fellowship, 2009
8.        -    Lima besar dari 120 peserta seluruh dunia untuk Global Development Network Award di bidang Innovative Development, 2008




PEMBAHASAN

Awalnya Baharuddin Sanian tengah mencari kemungkinan kerabatnya yang hilang atau meninggal akibat gempa dan gelombang tsunami. Sesampai di Banda Aceh, di antara ribuan mayat korban bencana dahsyat itu, ia termangu melihat tumpukan sampah berbagai jenis, dari besi hingga plastik.
Saat sampah mulai dibersihkan, Baharuddin heran.Tak banyak orang mau memunguti sampah plastik.
Pendapatnya mungkin karena nilainya rendah, sampah plastik tak banyak yang mengambil.Berbeda dengan besi yang harganya mahal kalau dijual kembali. Hal ini  menunjukkanbahwa ia memiliki rasa tanggungjawab terhadap keluarga dan kemampuan melihat permasalahan yang sedang dihadapi masyarakatnya sehingga ini merupakan unsur kekuatan (strengths)yang bersemi dalam diri Baharuddin.
Timbul niat Baharuddin untuk ikut membersihkan sampahplastikkarena  sadar plastik tak mudah terurai. Ia lalu belajar  kepada pemulung bagaimana memanfaatkan sampah plastik. Dia berkenalan dengan Dardak, agen pemulung di Banda Aceh. Dari Dadak ia tahu, sampah plastik hanya dimanfaatkan ala kadarnya. Pemulung di Aceh menggolongkan sampah plastik dalam dua jenis,atom plastik dan cong atau samsam. Atom plastik berupa bekas kemasan air berbentuk gelas, kursi plastik, hingga bekas ember, sedangkan cong atau samsam merupakan  campuran berbagai sampah plastik.
Penggolongan yang sederhana itu membuat nilai sampah pada saat dijual kea gen atau pengepul sangat murah. Di sini Baharuddin bermaksud menguasai secara rinci komoditi bisnisnya dan menciptakan jaringan kerja.
Baharuddin yang penasaran dengan sampah plastik, mencoba mencari tahu lewat internet. Dan kemudian tahu, sampah plastik seperti halnya ketika masih berupa bahan jadi plastik, terdiri dari berbagai  jenis. Sampah plastik pun dibedakan sesuai senyawa kimia pembentuknya.Dari internet dia tahu, sampah plastik secara garis besar ada tujuh jenis.
Tujuh jenis itu adalah PET (polyethylene therephthalate), biasanya berupa botol air mineral, HDPE (high density polyethylene) berupa botol oli, kosmetik hingga keresek, PVC (polyvinyl chloride) berupa pipa dan bahan konstruksi, LDP (low density polyethylene) berupa tutup botol air kemasan gallon, PP (polypropylene) berupa kemasan air dalam gelas hingga peralatan makan, PS (polystyrene) biasanya Styrofoam, dan HIPC (high impactplastik cover) untuk perangkat elektronik.
Harga tiap jenis sampah plastik itu berbeda-beda.Pemulung tak tahu jenis-jenis sampah plastik karena mereka menggolongkannya secara sederhana.Baharuddin mencontohkan, satubekas kemasan botol air minum terdiri dari empat jenis plastik.“Botolnya itu PET, labelnya PP, tutupnya HDPE, dan segelnya PVC”.Pemahaman para pemulung tentang jenis plastik masih rendah sehinggaini menjadi titik kelemahan atau weaknesses yang disadari oleh Baharuddin untuk ditingkatkan. Jika pemulung memilih ke empat jenis plastikdalam satu botol kemasan air minum, mereka bakal mendapatkan uang lebihsaat  menjualnya ke agen. Umumnya pemulung tak pernah memilahnya.Akibatnya, agen menyamaratakan harga beli. Rinciannya adalah bekas gelas air minum kemasan kalau sudah dibersihkan dari penutupnya, harganya bisa Rp 6.500 per kilogram. Kalau penutupnya dibersihkan seadanya, paling dihargai Rp 4.500.
Harga bekas kemasan gelas plastik air minum yang dibersihkan penutupnya bisa mahal karena seluruhnya terdiri dari PP. Sebagai seorang insinyur teknik mesin ia berinovasi menciptakan mesin yang dapat membersihkan penutup kemasan air minum dalam gelas plastik. Penulis berpendapat bahwa Baharuddin memiliki salah satu kriteria seorang wirastawan yaitu berkemampuan inovasi.Bahan plastik seperti ini mereka menyebutnya PP bening.Bila dicacah dan dijadikan bijih plastik, bisa untuk bahan pembuat kantong plastik berkualitas tinggi.Ini menyebabkan bekas gelas plastik air minum menjadi mahal.Kalau gelas plastiknya tak bersih, masih ada sisa penutupnya, maka kualitas bijih besi plastiknya jelek.Demikian, perbedaan harga ini merupakan hasil pengamatan yang tajam dan dapat menjadi celah untuk memperoleh nilai tambah yang selanjutnya menjadi salah satu sumber keuntungan usaha.
Kendatipun lingkungan Baharuddin sendiri termasuk keluarga dan teman-temannya mengaggap dia “gila” karena sudah bekerja di Exxon, malah sibuk mengurus pemulung. Menurut penulis, gejala perilaku seperti ini pun merupakan yang senantiasa dimiliki seorang wirastawan yaitu “out of the box” atau berbeda dengan kebiasaan orang banyak pada umumnya.
Demi meningkatkan pengetahuan para pemulung dan berbagi ilmu dengan mereka maka lima bulan setelah bencana tsunami di Aceh, Mei 2005, ia mendirikan yayasan, Palapa Plastik Recycle Foundation (PPRF) di Lhokseumawe.
Dibantu oleh temannya Dardak, PPRF menjadi semacam agen atau pengepul sampah plastik.Dardak meminta anak buahnya menjual sampah plastik ke PPRF.Para pemulung lalu diajarkan memilah berbagai jenis sampah plastik sesuai dengan senyawa kimianya.
PPRF juga membeli sampah plastik lebih mahal dibanding agen pemulung lain di Lhokseumawe karena pemulung telah memilih berbagai jenis sampah sesuai senyawa kimianya.
Ini menyebabkan banyak pemulung menjual sampah plastik ke PPRF.Ia menyadari, kebanyakan agen pengumpul di Aceh mengirim rongsokan plastik ke Medan tanpa dicacah atau di-grinding sehingga kenderaan pengangkut tak bisa memuat banyak sampah plastik. Lewat internet, ia mengenal seorang pengusaha pencacahan sampah plastik di Bekasi. Dia kemudian membeli mesin pencacah sampah plastiknya.Menurut penulis, Baharuddin juga memanfaatkan teknologi informasi dalam hal menemukan dan menciptakan jaringan kerja maupun mitra bisnisnya.
Selain menjadi tempat penampungan sampah plastik para pemulung di Lhokseumawe, PPRF mempekerjakan masyarakat sekitar tempat penampungan di Panggoi, Lhokseumawe, untuk memilah sampah plastik. “Pemulung memilah secara  kasar, pekerja di penampungan memilah lebih detail”.
Kini, sekitar 100 pemulung menjual sampah plastik ke PPRF.Kegiatan PPRF pun menarik lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional yang beroperasi di Aceh.Mereka menilai PPRF membantu memberdayakan masyarakat miskin di Aceh.Menurut penulis, Baharuddin sebagai seorang wirastawan berhasil menciptakan taraf pendapatan, perekonomian dan kehidupan masyarakat sekitar lokasi tersebut, sehingga memperoleh penilaian positif dari lembaga swadaya masyarakat internasional yang beroperasi di Aceh.
“Ada anggapan di Aceh ini, pekerjaan pemulung itu ‘rendahan’ sehingga tak banyak yang mau.Padahal kalau tahu potensinya, pemulung juga bisa menghidupi keluarga dengan layak” demikian pendapat Baharuddin.
Pada Juni 2006 LSM asal Belanda, PUM Nederland, member bantuan mesin ‘grinding’ berkapasitas 50 ton per bulan. Bantuan ini sebagian hibah, sekitar 30 persen sisanya berupa pinjaman lunak selama lima tahun. Pada 2007, LSM lain dari Belanda membantu PPRF mendirikan 20 rumah bagi pemulung di sekitar lokasi pabrik pencacahan sampah plastik.
Upayanya memberdayakan pemulung dengan PPRF membuat dia dinilai sebagai ‘social entrepreneur’. Tahun 2007, Australia dan UNDP member hibah PPRF Rp 1,6 miliar untuk membangun pabrik pencacahan sampah plastik di Banda Aceh. Menurut penulis, Baharuddin sebagai seorang wirastawan telah berhasil membuktikan pencapaiannya sehingga memperoleh pengakuan secara internasional dari 2 LSM Belanda, Australia dan Lebih-lebih lagi dari UNDP (PBB) beserta bantuannya masing-masing yang secara material sangat besar, disamping penghargaan yang tidak kecil artinya sebagai seorang “social entrepreneur”.
Namun, upaya Baharuddin belum dihargai pemerintah daerah.Saat menawarkan program penanganan sampah anorganik di Lhokseumawe, pemerintah daerah malah minta bantuan pengadaan tong sampah ke PPRF.
Menurut penulis, inilah yang menjadi tantangan atau threaths bagi Baharuddin yaitu berupa; anggapan masyarakat yang masih rendah terhadap pemulung, dan dukungan pemerintah daerah yang masih terbatas namun Baharuddin sebagai seorang wirastawan sejati tidak mudah berputus asa.
Buktinya, masih ada mimpinya yang belum terwujud, yaitu mendirikan pabrik pengolahan sampah plastik menjadi barang jadi.Selanjutnya Baharuddin menyatakan bahwa pabrik untuk mengolah sampah plastik yang telah berupa bijih menjadi barang jadi seperti kantong keresek hingga tali raffia.Selama ini sampah plastik dari Aceh dibawa ke Medan, diolah menjadi barang jadi, lalu dikirim lagi ke Aceh.



KESIMPULAN

Proses kemunculan seorang wirastawan seperti Baharuddin ini demikian uniknya, namun para wirastawan memiliki pemicu yang dapat dikatakan hampir sama yaitu setelah mereka menghadapi suatu permasalahan yang sangat tragis yang perlu mereka pecahkan. Dari cara pengelolalaan problem sampah plastik yang menurutnya tidak efisien maka lahirlah gagasan, inovasi serta langkah-langkah kegiatan yang sifatnya orisinil Baharuddin dan ini merupakan unsur kekuatannya (strengths).
Setelah melalui tahapan belajar maka pengetahuan para pemulung mengalami kemajuan dalam hal keterampilan memilahberbagai jenis sampah plastik yang akhirnya berikut mempengaruhi harga jual.Tingkat kesejahteraan para pemulung khususnya dan masyarakat sekitar lokasi pabrik pengelolaan sampah plastik pada umumnya secara nyata bertambah, sehingga fakta sosial dan ekonomi yang demikian ini mendapat penghargaan dari LSM internasional maupun PBB yang disertai dengan bantuan hibah berupa dana dan mesin pengolah sampah. Kemampuan memanfaatkan kesempatan (opportunities) ini yang dimiliki Baharuddin maka ia menjadi sangat pantas mendapatkan gelar sebagai seorang wirastawan sosial (social entrepreneur) dari LSM asing maupun PBB sendiri.
Namun, kelemahan (weaknesses) seperti anggapan rendah terhadap pekerjaan pemulung serta dukungan pemerintah daerah belum ada, tenyata hal ini tidak mengurangi semangat kewirausahaan Baharuddin,malah sebaliknya yang terjadi adalah ia menghadapi ancaman (threats) baru berkat mimpinya untuk mendirikan pabrik pengelolaan sampah plastik sendiri.
Baharuddin Sanian ini sungguh seorang wirastawan figure inspiratif.

DAFTAR PUSTAKA
1.       David, Fred R.” Strategic Management, Concept, and  Cases, 10th edition, Prentice Hall
2.       Heinz Weihrich “The TOWS Matrix” a tool Situational Analysis (1982), pp. 54-56
3.       Kompas Harian, “Wirastawan Sampah Plastik” 6 Juli 2010, hal. 16
4.       Tutik Dwi Winarni, DR,” Bahan Kuliah Entrepreneurship” Pasca Sarjana STIEKU, Jakarta, 2010



Tidak ada komentar:

Posting Komentar