SEBUAH ANALISIS SWOT PADA
WIRAUSAHAWAN SAMPAH PLASTIK
BAHARUDDIN SANIAN – BANDA
ACEH
Oleh
Jacub
(082010014)
MAHASISWA PASCA SARJANA STIEKU
JAKARTA, 2010
PENDAHULUAN
Keberhasilan seorang wirausahawan di bidang sampah
plastik yang memulai usahanya dari nol sampai dengan mendapat kepercayaan dari
LSM asing dan UNDP. Ia dinilai sebagai “social entrepreneur” karena
kemampuannya merubah pola pikir masyarakat sekitar khususnya komunitas pemulung
sehingga dengan swadaya sanggup menaikkan tingkat kesejahteraan hidup mereka .
Kasus ini menjadi menarik perhatian penulis sehingga terdorong untuk
mengkaji lebih dalam guna mengetahui unsur- unsur yang mendukung kemunculan
seorang wirastawan handal tersebut.
Adapun data wirastawan tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Lahir: Peuriak, Aceh Timur, 28 November 1956
2.
Istri: Suryati
3.
Pendidikan:
4.
- STM Negeri Banda
Aceh, 1976
- Jurusan Teknik Mesin Universitas
Pengembangan Masyarakat Indonesia Medan, 1994
5.
Pekerjaan: Senior Mechanical Engineering PT Exxon Mobile
Lhokseumawe
6.
Pencapaian:
7.
- Nominator Ashoka
Fellowship, 2009
8.
- Lima besar dari 120
peserta seluruh dunia untuk Global Development Network Award di bidang
Innovative Development, 2008
PEMBAHASAN
Awalnya Baharuddin Sanian tengah mencari kemungkinan kerabatnya yang
hilang atau meninggal akibat gempa dan gelombang tsunami. Sesampai di Banda
Aceh, di antara ribuan mayat korban bencana dahsyat itu, ia termangu melihat
tumpukan sampah berbagai jenis, dari besi hingga plastik.
Saat sampah
mulai dibersihkan, Baharuddin heran.Tak banyak orang mau memunguti sampah
plastik.
Pendapatnya mungkin karena nilainya rendah, sampah plastik tak banyak
yang mengambil.Berbeda dengan besi yang harganya mahal kalau dijual kembali.
Hal ini menunjukkanbahwa ia memiliki
rasa tanggungjawab terhadap keluarga dan kemampuan melihat permasalahan yang
sedang dihadapi masyarakatnya sehingga ini merupakan unsur kekuatan (strengths)yang bersemi dalam diri
Baharuddin.
Timbul niat Baharuddin untuk ikut membersihkan sampahplastikkarena sadar plastik tak mudah terurai. Ia lalu
belajar kepada pemulung bagaimana
memanfaatkan sampah plastik. Dia berkenalan dengan Dardak, agen pemulung di
Banda Aceh. Dari Dadak ia tahu, sampah plastik hanya dimanfaatkan ala kadarnya.
Pemulung di Aceh menggolongkan sampah plastik dalam dua jenis,atom plastik dan
cong atau samsam. Atom plastik berupa bekas kemasan air berbentuk gelas, kursi
plastik, hingga bekas ember, sedangkan cong atau samsam merupakan campuran berbagai sampah plastik.
Penggolongan yang sederhana itu membuat nilai sampah pada saat dijual kea
gen atau pengepul sangat murah. Di sini Baharuddin bermaksud menguasai secara
rinci komoditi bisnisnya dan menciptakan jaringan kerja.
Baharuddin yang penasaran dengan sampah plastik, mencoba mencari tahu
lewat internet. Dan kemudian tahu, sampah plastik seperti halnya ketika masih
berupa bahan jadi plastik, terdiri dari berbagai jenis. Sampah plastik pun dibedakan sesuai
senyawa kimia pembentuknya.Dari internet dia tahu, sampah plastik secara garis
besar ada tujuh jenis.
Tujuh jenis itu adalah PET (polyethylene
therephthalate), biasanya berupa botol air mineral, HDPE (high density polyethylene) berupa botol
oli, kosmetik hingga keresek, PVC (polyvinyl
chloride) berupa pipa dan bahan konstruksi, LDP (low density polyethylene) berupa tutup botol air kemasan gallon, PP
(polypropylene) berupa kemasan air
dalam gelas hingga peralatan makan, PS (polystyrene)
biasanya Styrofoam, dan HIPC (high impactplastik
cover) untuk perangkat elektronik.
Harga tiap jenis sampah plastik itu berbeda-beda.Pemulung tak tahu
jenis-jenis sampah plastik karena mereka menggolongkannya secara sederhana.Baharuddin
mencontohkan, satubekas kemasan botol air minum terdiri dari empat jenis
plastik.“Botolnya itu PET, labelnya PP, tutupnya HDPE, dan segelnya PVC”.Pemahaman
para pemulung tentang jenis plastik masih rendah sehinggaini menjadi titik
kelemahan atau weaknesses yang disadari oleh Baharuddin untuk ditingkatkan.
Jika pemulung memilih ke empat jenis plastikdalam satu
botol kemasan air minum, mereka bakal mendapatkan uang lebihsaat menjualnya ke agen. Umumnya pemulung tak
pernah memilahnya.Akibatnya, agen menyamaratakan harga beli. Rinciannya adalah
bekas gelas air minum kemasan kalau sudah dibersihkan dari penutupnya, harganya
bisa Rp 6.500 per kilogram. Kalau penutupnya dibersihkan seadanya, paling
dihargai Rp 4.500.
Harga bekas kemasan gelas plastik air minum yang dibersihkan penutupnya
bisa mahal karena seluruhnya terdiri dari PP. Sebagai seorang insinyur teknik
mesin ia berinovasi menciptakan mesin yang dapat membersihkan penutup kemasan
air minum dalam gelas plastik. Penulis berpendapat bahwa Baharuddin memiliki
salah satu kriteria seorang wirastawan yaitu berkemampuan inovasi.Bahan plastik
seperti ini mereka menyebutnya PP bening.Bila dicacah dan dijadikan bijih
plastik, bisa untuk bahan pembuat kantong plastik berkualitas tinggi.Ini
menyebabkan bekas gelas plastik air minum menjadi mahal.Kalau gelas plastiknya
tak bersih, masih ada sisa penutupnya, maka kualitas bijih besi plastiknya
jelek.Demikian, perbedaan harga ini merupakan hasil pengamatan yang tajam dan
dapat menjadi celah untuk memperoleh nilai tambah yang selanjutnya menjadi
salah satu sumber keuntungan usaha.
Kendatipun lingkungan Baharuddin sendiri termasuk keluarga dan
teman-temannya mengaggap dia “gila” karena sudah bekerja di Exxon, malah sibuk
mengurus pemulung. Menurut penulis, gejala perilaku seperti ini pun merupakan
yang senantiasa dimiliki seorang wirastawan yaitu “out of the box” atau berbeda
dengan kebiasaan orang banyak pada umumnya.
Demi meningkatkan pengetahuan para pemulung dan berbagi ilmu dengan
mereka maka lima bulan setelah bencana tsunami di Aceh, Mei 2005, ia mendirikan
yayasan, Palapa Plastik Recycle Foundation (PPRF) di Lhokseumawe.
Dibantu oleh temannya Dardak, PPRF menjadi semacam agen atau pengepul
sampah plastik.Dardak meminta anak buahnya menjual sampah plastik ke PPRF.Para
pemulung lalu diajarkan memilah berbagai jenis sampah plastik sesuai dengan
senyawa kimianya.
PPRF juga membeli sampah plastik lebih mahal dibanding agen pemulung lain
di Lhokseumawe karena pemulung telah memilih berbagai jenis sampah sesuai
senyawa kimianya.
Ini menyebabkan banyak pemulung menjual sampah plastik ke PPRF.Ia
menyadari, kebanyakan agen pengumpul di Aceh mengirim rongsokan plastik ke
Medan tanpa dicacah atau di-grinding sehingga kenderaan pengangkut tak bisa
memuat banyak sampah plastik. Lewat internet, ia mengenal seorang pengusaha
pencacahan sampah plastik di Bekasi. Dia kemudian membeli mesin pencacah sampah
plastiknya.Menurut penulis, Baharuddin juga memanfaatkan teknologi informasi
dalam hal menemukan dan menciptakan jaringan kerja maupun mitra bisnisnya.
Selain menjadi tempat penampungan sampah plastik para pemulung di
Lhokseumawe, PPRF mempekerjakan masyarakat sekitar tempat penampungan di
Panggoi, Lhokseumawe, untuk memilah sampah plastik. “Pemulung memilah
secara kasar, pekerja di penampungan
memilah lebih detail”.
Kini, sekitar 100 pemulung menjual sampah plastik ke PPRF.Kegiatan PPRF
pun menarik lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional yang beroperasi di
Aceh.Mereka menilai PPRF membantu memberdayakan masyarakat miskin di Aceh.Menurut
penulis, Baharuddin sebagai seorang wirastawan berhasil menciptakan taraf
pendapatan, perekonomian dan kehidupan masyarakat sekitar lokasi tersebut,
sehingga memperoleh penilaian positif dari lembaga swadaya masyarakat
internasional yang beroperasi di Aceh.
“Ada anggapan di Aceh ini, pekerjaan pemulung itu ‘rendahan’ sehingga tak
banyak yang mau.Padahal kalau tahu potensinya, pemulung juga bisa menghidupi
keluarga dengan layak” demikian pendapat Baharuddin.
Pada Juni 2006 LSM asal Belanda, PUM Nederland, member bantuan mesin
‘grinding’ berkapasitas 50 ton per bulan. Bantuan ini sebagian hibah, sekitar
30 persen sisanya berupa pinjaman lunak selama lima tahun. Pada 2007, LSM lain
dari Belanda membantu PPRF mendirikan 20 rumah bagi pemulung di sekitar lokasi
pabrik pencacahan sampah plastik.
Upayanya memberdayakan pemulung dengan PPRF membuat dia dinilai sebagai
‘social entrepreneur’. Tahun 2007, Australia dan UNDP member hibah PPRF Rp 1,6
miliar untuk membangun pabrik pencacahan sampah plastik di Banda Aceh. Menurut
penulis, Baharuddin sebagai seorang wirastawan telah berhasil membuktikan
pencapaiannya sehingga memperoleh pengakuan secara internasional dari 2 LSM Belanda,
Australia dan Lebih-lebih lagi dari UNDP (PBB) beserta bantuannya masing-masing
yang secara material sangat besar, disamping penghargaan yang tidak kecil
artinya sebagai seorang “social entrepreneur”.
Namun, upaya Baharuddin belum dihargai pemerintah daerah.Saat
menawarkan program penanganan sampah anorganik di Lhokseumawe, pemerintah
daerah malah minta bantuan pengadaan tong sampah ke PPRF.
Menurut penulis, inilah yang menjadi tantangan atau threaths
bagi Baharuddin yaitu berupa; anggapan masyarakat yang masih rendah terhadap
pemulung, dan dukungan pemerintah daerah yang masih terbatas namun Baharuddin
sebagai seorang wirastawan sejati tidak mudah berputus asa.
Buktinya, masih ada mimpinya yang belum terwujud, yaitu
mendirikan pabrik pengolahan sampah plastik menjadi barang jadi.Selanjutnya
Baharuddin menyatakan bahwa pabrik untuk mengolah sampah plastik yang telah
berupa bijih menjadi barang jadi seperti kantong keresek hingga tali raffia.Selama
ini sampah plastik dari Aceh dibawa ke Medan, diolah menjadi barang jadi, lalu
dikirim lagi ke Aceh.
KESIMPULAN
Proses kemunculan seorang wirastawan seperti Baharuddin ini
demikian uniknya, namun para wirastawan memiliki pemicu yang dapat dikatakan hampir
sama yaitu setelah mereka menghadapi suatu permasalahan yang sangat tragis yang
perlu mereka pecahkan. Dari cara pengelolalaan problem sampah plastik yang menurutnya
tidak efisien maka lahirlah gagasan, inovasi serta langkah-langkah kegiatan
yang sifatnya orisinil Baharuddin dan ini merupakan unsur kekuatannya (strengths).
Setelah melalui tahapan belajar maka pengetahuan para
pemulung mengalami kemajuan dalam hal keterampilan memilahberbagai jenis sampah
plastik yang akhirnya berikut mempengaruhi harga jual.Tingkat kesejahteraan
para pemulung khususnya dan masyarakat sekitar lokasi pabrik pengelolaan sampah
plastik pada umumnya secara nyata bertambah, sehingga fakta sosial dan ekonomi
yang demikian ini mendapat penghargaan dari LSM internasional maupun PBB yang
disertai dengan bantuan hibah berupa dana dan mesin pengolah sampah. Kemampuan
memanfaatkan kesempatan (opportunities)
ini yang dimiliki Baharuddin maka ia menjadi sangat pantas mendapatkan gelar
sebagai seorang wirastawan sosial (social
entrepreneur) dari LSM asing maupun PBB sendiri.
Namun, kelemahan (weaknesses)
seperti anggapan rendah terhadap pekerjaan pemulung serta dukungan pemerintah
daerah belum ada, tenyata hal ini tidak mengurangi semangat kewirausahaan Baharuddin,malah
sebaliknya yang terjadi adalah ia menghadapi ancaman (threats) baru berkat
mimpinya untuk mendirikan pabrik pengelolaan sampah plastik sendiri.
Baharuddin
Sanian ini sungguh seorang wirastawan figure inspiratif.
DAFTAR PUSTAKA
1.
David, Fred R.” Strategic
Management, Concept, and Cases, 10th
edition, Prentice Hall
2.
Heinz Weihrich “The TOWS
Matrix” a tool Situational Analysis (1982), pp. 54-56
3.
Kompas Harian, “Wirastawan
Sampah Plastik” 6 Juli 2010, hal. 16
4.
Tutik Dwi Winarni, DR,” Bahan
Kuliah Entrepreneurship” Pasca Sarjana STIEKU, Jakarta, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar